Kekerasan. Kata itu kadang sungguh mengerikan. Mengerikan karena kekerasan sering mengakibatkan kerusakan fisik, trauma psikologis, mental, pranata sosial atau bahkan bisa menimbulkan depresi hingga kematian terhadap seseorang, kelompok, kepercayaan, moral, tingkah laku, keserasian masyarakat bahkan bangsa dan negara.
Kata tersebut saat ini menjadi populer kembali karena tindakan ormas yang sering membuat tindakan tersebut. Beberapa tahun lalu, masa-masa reformasi kekerasan hampir terjadi setiap hari. Kita ingat betul ketika itu, orang-orang berbondong menyikat barang-barang yangbbukan haknya. Dengan kekuatan setan mereka memboyong benda-benda yang bisa diangkat, lemari, meja, kasur yang dipajang di pusat-pusat perbelanjaan.
Kalau benda-benda sebesar itu mereka dengan santainya mengangkat, pasti saja benda-benda kecil seperti jenis makanan habis digondol semua. Mereka tanpa merasa dosa terus merampok benda yang bukan haknya. Troli-troli perbelanjaan penuh barang rampokan, dan kebanyakan mereka adalah warga-warga biasa yang sebelumnya hidup biasa juga.
Kekerasan pun bisa terjadi dirumah tangga (KDRT) yang selama ini terkesan hanya menyasar kepada kaum wanita. jarang sekali kekerasan yang dilakukan oleh kaum wanita terungkap, walaupun sering juga terjadi. KDRT sebetulnya peristiwa privat namun bisa menjadi konsumsi umum ketika si penanggung derita tidak kuat. Namun bila masih kuat ia akan tetap menahannya, karena sadar itu adalah masalah internal yang tidak harus diketahui fihak umum. Namun apapun bentuknya, dilakukan oleh siapa ya tetaplah sebuah tindakan yang tidak elok.
Pengertian kekerasan kemudian mengalami penyempitan pengertian. Sering stigma “keras” yang menimbulkan kekerasan sering hanya diarahkan kepada hal-hal fisik belaka. Di sinilah ketidakadilan itu terjadi. Orang lebih memaknai kekerasan itu berdasarkan kacamata mereka saja. Para aktifis pun sering berpikir picik dalam memaknai pengertian kekerasan itu. Aktifis-aktifis tertentu cenderung tidak adil dalam melakukan advokasi atau pembelaan. Karena mereka sempit dalam pemaknaan, efeknya mereka pun sempit dalam pembelaan, sebatas hanya sesuai kepentingannya sendiri.
Kekerasan, menurut Mahatma Gandhi berakar pada beberapa hal misalnya kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.
Kekayaan tanpa bekerja mencerminkan cara pemerolehan harta yang didapat tanpa mengikuti prosedur kerja yang sehat dan masuk akal. Dalam konteks ini dapat dicontohkan tindakan-tindakan koruptif dapat digolongkan juga sebagai kekerasan.
Kesenangan tanpa hati nurani adalah upaya pemuasan diri tanpa menghiraukan rasa yang paling dasar dalam diri manusia dan budaya yang ada. Kultur sebagai nilai dasar yang dapat dijadikan standar terhadap implementasi. Sebagai contoh misalnya hubungan kelamin tanpa ikatan pernikahan, pemerkosaan, penyelewengan budaya. Andai saja ada orang waras telanjang berkeliling kota, berarti telah tergolong pula melakukan kekerasan.
Kalau kita berpikir fair misalnya penggunaan pakaian-pakaian yang tidak sejalan dengan perasaan keumuman yang ada dapat digolongkan pula dalam kekerasan, karena telah menempatkan sesuatu tidak didasarkan pada hati nurani keumuman anggota masyarakat. Artinya penggunaan pakaian-pakaian yang tidak relevan dengan budaya kita dapat juga dikategorikan kekerasan.
Dengan mengacu pada konsep Gandhi, sejatinya aksi-aksi premanisme baik yang dilakukan oleh pejabat terhadap rakyatnya, oleh preman-preman jalanan, pemaksaan sumbangan, pemalakan, prostitusi baik tertutup maupun terbuka dapat digolongkan kekerasan. Bentuk-bentuk hiburan yang identik dengan kemaksiatan baik legal maupun ilegal pun termasuk tindakan kekerasan karena itu semua tidak lain adalah bentuk kesenangan yang mengabaikan hati nurani masyarakat.
Pun jenis kecurangan yang terjadi di dunia perdagangan dan bisnis. Kenaikan timbangan, pemalakan, penentuan bunga yang menjerat hingga rentenir yang mematikan rakyat dapat digolongkan kepada perdagangan yang mengabaikan moralitas. Dalam hal ini moral berarti bukan hanya urusan seseorang kepada Tuhannya namun terkait erat kepada hubungan horisontal antar sesama manusia.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan dalam sosial kemasyarakatan. Yang terjadi saat ini adalah penyempitan makna yang dibentuk oleh para aktifis Hak Asasi Manusia (HAM) yang cenderung berpikir sinis dan picik, mementingkan urusannya sendiri. Kenapa? Ya para aktifis yang tidak adil itu sering mendapatkan fulus dari luar negeri.
Hak Asasi Manusia pun hanya dimaknai semau gue oleh mereka. Jika kepentingan mereka terganggu, HAM dijadikan pedang yang paling kuat sebagai bahan pembelaan mereka. Padahal yang memiliki hak asasi bukan hanya mereka penggiat HAM, kita pun memiliki hak asasi yang sama dengan mereka.
Semoga tulisan ini menjadi bahan pertimbangan para aktifis atau siapa saja yang memandang sebelah mata kelompok diluar mereka. Bahwa definisi kekerasan itu tidak hanya menjadi hak mereka, namun semua manusia memiliki hal yang sama. Jangan sampai stigma kekerasan itu hanya diarahkan kepada sebuah kelompok, karena ternyata banyak pihak baik individu maupun kelompok melakukan hal yang sama, bahkan lebih keras dari kekerasan fisik namun lebih pada kekerasan budaya dan karakter.
Bertindak adil itu memang tidak mudah, terlebih terhadap orang-orang yang tidak pernah berpihak kepada kita.
Semoga kita bisa lebih adil dan cerdas menentukan sikap…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar